Ibnu
Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT mengistemewakan
bulan Ramadan di atas bulan-bulan lainnya dengan menurunkan Al-Qur'an di
dalamnya. Kitab-kitab suci yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu
juga diturunkan pada bulan Ramadan. Kitab nabi Ibrahim (suhuf)
diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan, kitab Zabur diturunkan
kepada nabi Dawud pada malam kedua belas bulan Ramadan, kitab Taurat
diturunkan kepada nabi Musa pada malam keenam bulan Ramadan dan kitab
Injil kepada nabi Isa diturunkan pada malam ketiga belas bulan Ramadan.
Kitab-kitab tersebut merupakan petunjuk bagi umat manusia ke jalan yang
benar dan penyelamat dari jalan yang sesat. Maka bulan Ramadan dalam
sejarahnya merupakan bulan dimulainya gerakan membasmi kemusyrikan di
muka bumi, menghancurkan kekufuran, menepis kedengkian, melawan kebatilan dan kemungkaran, hawa nafsu serta kesombongan.
Melalui
puasa Ramadan, Allah SWT menguji hamba-Nya untuk mengendalikan
nafsunya, serta memberikan kesempatan kepada kalbu untuk menembus wahana
kesucian dan dan kejernihan rabbani. para hukama terdahulu meyakini
bahwa dengan perut adalah pengendali nafsu manusia. Luqman Hakim pernah
menasehati anaknya ”Wahai anakku, manakala perutmu kenyang, maka
tidurlah fikiranmu, sirnalah kecerdikanmu dan anggota tubuhmu enggan
beribadah”. Ali bin Abi Thalib r.a. juga berkata: ”Manakala perutmu
penuh, maka kamu adalah orang yang lumpuh”. Sahabat Umar menambahkan:
”Barangsiapa banyak makannya, maka ia tidak akan merasakan kenikmatan
dzikir kepada Allah”.
Puasa
Ramadan dengan demkian merupakan pengendalian diri dari hegemoni nafsu
syahwat dan pemisahan diri dari kebiasaan buruk dan maksiat, sehingga
memudahkan bagi seorang hamba untuk menerima pancaran cahaya ilahiyah.
Fakhruddin al-Razi menjelaskan dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib,
bahwa cahaya ketuhanan tak pernah redup dan sirna, namun nafsu syahwat
kemanusiaan sering menghalanginya untuk tetap menyinari sanubari
manusia, puasa merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan
penghalang tersebut. Oleh karena itu pintu-pintu mukashafah (keterbukaan) ruhani tidak ada yang mampu membukanya kecuali dengan puasa.
Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa puasa adalah seperempat iman, berdasar pada hadis Nabi: Ash shaumu nisfush shabri, dan hadis Nabi saw: Ash Shabru Nisful Iman. Puasa itu seperdua sabar, dan sabar itu seperdua iman. Dan
puasa itu juga ibadah yang mempuyai posisi istimewa di mata Allah.
Allah berfirman dalam hadis Qudsi: "Tiap-tiap kebajikan dibalas dengan
sepuluh kalilipat, hingga 700 kali lipat, kecuali puasa, ia untuk-Ku,
Aku sendiri yang akan membalasnya".
Imam
Ghozali juga menjelaskan bahwa puasa mempunyai tiga tingkatan. Pertama
puasa kalangan umum, yaitu menjaga perut dan alat kelamin dari memenuhi
shawatnya sesuai aturan yang ditentukan. Kedua adalah puasa kalangan
khusus, yaitu selain puasa umum tadi dengan disertai menjaga
pendengaran, penglihatan, mulut, tangan dan kaki serta seluruh anggota
tubuh lainnya dari perbuatan maksiat. Ketiga, yang paling tinggi, adalah
puasa kalangan khususnya khusus, yaitu puasa dengan menjaga hati dan
pemikiran dari noda-noda hati yang hina dan dari hembusan pemikiran
duniawi yang sesat serta memfokuskan keduanya hanya kepada Allah. Inilah
puncak kontemplasi hamba dengan Allah SWT.
Puasa
Ramadan merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk meningkatkan
kualitas dimensi keagamaannya. Pertama, dimensi teologis dan
spiritualitas yang tercermin dalam komunikasi antara manusia dan
Tuhannya, sehingga memungkinkan dalam dirinya semakin berkembang
sifat-sifat ketuhanan yang sebenarnya sudah dimiliki, yakni sifat-sifat
positif untuk berbuat kebajikan dan tertanam kepekaan hati nurani dalam
bertingkah laku.
Kedua,
dimensi sosial. Yaitu tumbuhnya kesadaran sosial dalam batin untuk
peduli dengan aspek-aspek sosial kemanusiaan. Kualitas kesadaran batin
dapat diukur dengan tingkat kepedulian terhadap realitas sosial
tersebut, seperti ketaatan kepada pemimpin, hormat dan berbakti kepada
orang tua, menyantuni anak yatim dan orang-orang miskin, membela orang
yang tertindas hak dan martabatnya, keberanian melakukan kontrol sosial
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketiga,
dimensi mental. Dengan berpuasa akan melahirkan mental tegar dan tahan
banting, sehingga mampu untuk mengahadapi berbagai tantangan, cobaan,
godaan, dan ujian dalam kehidupan ini. Senantiasa optimistis dalam
berikhtiar dan berusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik dengan
tetap mengacu pada nilai-nilai etika dan moral agama. Puasa juga akan
melatih mentalitas kita untuk sportif dan jujur dalam menerima amanat
dan mengemban tugas, menjauhi sikap pengecut dan khianat serta tidak
mudah mengumbar emosi amarah dan permusuhan.
Keempat,
dimensi etika. Dengan menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan benar dan
berkualitas, maka akan tercermin dalam diri kita nilai-nilai etika dan
moral agama yang positif untuk diaktualisasikan dalam pola kehidupan
sehari-hari, seperti: kemampuan menghadirkan alternatif-alternatif
terbaik, dalam pola berpikir, bersikap, dan bertingkah laku; kemampuan
dalam mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan negatif, maupun
emosional destruktif; kemampuan mengarahkan diri sendiri kepada
kebenaran, sifat obyektif dan konstruktif; kemampuan untuk menahan diri
dari jebakan materialistik dan hedonistik serta kemampuan moralitas
dalam melakukan tugas dan kewajiban melalui pertimbangan rasionalitas
dan hati nurani.
Wallahu a'lam.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar