Irzan
masih duduk terdiam, entah sudah berapa lama ia terpekur sendirian. Hening tak bersuara.
Hanya rintik hujan yang terus mengguyur tubuhnya yang rapuh. Sesekali ia
terlihat membasuh wajahnya dengan sapu tangan berwarna putih. Dari raut mukanya
tersirat jelas kedukaan yang mendalam. Sementara tanah tempat ia berjongkok
telah tergenangi air, namun tak mampu membuatnya bergeming untuk
menghindarinya.
Sesaat tangannya menyibakkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar gundukan
tanah dan menaburkan wangi melati di atasnya. Dengan gemetar ia membelai batu
yang tegak berdiri yang warnanya sudah agak kekuningan karena terkena cipratan
lumpur ketika turun hujan. Tiba-tiba saja tubuhnya ambruk lunglai di atas
gundukan tanah tadi, seolah ia sedang ingin memeluk sesuatu. Genangan bening
akhirnya tumpah dari ujung matanya. Suaranya terdengar parau dan memilukan.
Sayup-sayup terdengar suaranya lirih nyaris tak terdengar, memanggil seseorang.
Tetapi yang ia panggil tetap tak datang menampakkan diri di hadapannya.
Tangisnya makin memecah. Ia seperti anak kecil yang merengek-rengek meminta
mainannya. Seiring itu rintik hujanpun berubah menjadi deras. Seakan-akan ia
ikut menumpahkan kepedihan yang di rasakan Irzan.
Namun Irzan tak menyadari deras air hujan yang mengguyur dan bening kristal
yang meleleh dari matanya kini, tak akan mampu membalut semua duka dan derita
seseorang 10 thn yang lalu. Sebuah pengorbanan yang menguras habis seluruh
kebahagiaan dan keindahan cintanya. Ia yang seorang diri mengurung dalam
penantian yang sia-sia . Menghabiskan waktu hanya dengan sebuah harapan dan
impian yang tak sekalipun datang menghampirinya. Berkubang dalam kesetiaan yang
tetap ia pertahankan meskipun selautan duri menusuk-nusuk ulu hatinya
*********
Shifa, seorang gadis remaja yang berteduh dalam naungan iman dan takwa kepada
sang Khalik. Yang berpegang teguh pada kemuliaan seorang wanita solehah yang
menjaga pandangannya dari kemunafikan duniawi. Ia yang selalu menjaga bening
hatinya dari kenistaan akhlak manusia. Kini telah mengulum cinta pada seorang
pria hasil perjodohan orang tuanya. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama
ketika kedua orang tua mempertemukan mereka untuk bertaaruf. Sebuah cinta yang
selama ini tersembunyi dalam kesucian hatinya.
Akhirnya cintanya berlabuh pada restu kedua orang tua untuk melaksanakan
khitbah atas Ridha dari sang Maha Agung. Kebahagiaan walimah ursy yang
terpancar dari seluruh keluarga, handai taulan, kerabat dan anak-anak yatim
tergambar jelas di wajahnya yang begitu anggun dalam balutan hijabnya. Sejak
saat itu hidupnya hanya untuk mengabdikan dirinya pada Ridha suaminya.
Namun kebahagiaan itu luruh seketika sesaat setelah walimah ursy usai di gelar.
Suaminya membuat sebuah pernyataan yang sangat mengejutkan. Pernyataan tentang
ketidak setujuannya atas pernikahan dengannya, karena ia tak pernah mencintai
shifa. Sebelum dia di jodohkan oleh kedua orang tua mereka suaminya mengaku
telah menambatkan hatinya pada wanita lain. Dan pernikahan ini terpaksa di
terimanya karena orang tua. Bukan atas dasar cinta.
Hati shifa hancur berkeping-keping atas pernyataan suaminya itu. Rasanya ia
ingin membatalkan pernikahan ini. Ia merasa telah mendholimi kaumnya. Ia merasa
telah salah meletakkan cintanya. Namun mampukah ia mencegahnya sementara ikrar
sakral telah terucap dari kedua bibirnya. Sebuah perjanjian yang tidak hanya ia
pertanggung jawabkan kepada para saksi dan kedua orang tuanya namun perjanjian
yang juga membutuhkan pertanggung jawabannya kepada sang Pencipta. Akhirnya
dengan kepedihan yang merejam ia tunduk bersujud mohon petunjuk dan penerang
hatinya.
Atas doa dan muhabbahnya, shifa memutuskan untuk tetap manjalani kehidupan
rumah tangganya. Meskipun ia begitu terasing dari kehidupan suaminya. Meskipun
kehadirannya di pandang sebelah mata oleh suaminya. Meskipun cinta tak pernah
tertabur kepadanya, namun ia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang
istri yang tunduk dan menghormati suami.
Hingga suatu hari, enam bulan setelah shifa hidup serumah dengan suaminya.
Sebuah cobaan terberat telah datang menguji ketabahannya. Suaminya telah pergi
dari rumah entah kemana dan untuk berapa lama. Ia hanya mendapati sepucuk surat
dari suaminya yang membertitahukan bahwa ia pergi untuk mencari ketenangan
hatinya.. Dia tidak mengetahui ketika dia pergi, shifa tengah mengandung buah
hatinya selama 1 bulan.
Sejak kepergian suaminya, shifa hidup dalam penantian. Ia menjalani
hari-harinya dengan doa, memohon kepada Yang Maha Mulia supaya suaminya segera
kembali. Matanya tak pernah kering oleh buliran bening kepasrahan. Meski
penderitaan batin terus merejamnya, namun ia mencoba untuk tetap tabah dan
menjalani waktu demi waktu dengan seluruh kesetiaan dan kesabaran. Ia hanya
berpegang pada sebuah keyakinan bahwa tiada suatupun cobaan yang melampaui
batas kemampuannya. Ia tak ingin pula terlalu larut dalam kepedihan yang
berkepanjangan yang hanya akan menyerabutkan imannya. Apalagi dia sadar, dia tengah
mengandung buah hatinya yang sangat membutuhkan ketenangan jiwanya.
Akhirnya dengan kekuatan cinta yang masih terjaga di dalam hatinya, ia berusaha
menghadapi kesuraman yang memayunginya saat ini. Hingga tanpa terasa waktupun
terus bergulir. Bayi yang di kandungnya pun ingin segera lahir ke dunia. Seolah
si kecil ikut merasakan beban penderitaan sang ibu dan ingin menemaninya
menjalani kehidupan yang berat ini bersama.
Si kecilpun akhirnya terlahir ke dunia. Dengan tangisnya yang membahana ia
menyapa seluruh dunia. Semua keluarga menyambutnya dengan alunan doa dan rasa
syukur atas kehadirannya. Seruan adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga
kiri ikut mengiringi jejak kakinya di muka bumi. Tapi sayang sang ayah tak bisa
menyaksikan peristiwa yang menakjubkan itu. Ia telah mengorbankan kebahagiaan
orang-orang yang mencintainya hanya karena ego yang tak mampu di kendalikannya.
Shifa menikmati tangisan buah hatinya dengan perasaan berbunga-bunga. Sesaat
dia melupakan semua kegetiran dan kepahitannya hidupnya. Rasa syukur terus
terucap dari kedua bibirnya. Doa juga tak henti-hentinya tercurah untuk si
kecil. Sambil ia mendekap hangat bayinya, ia memberikan ASI pertamanya. Selama
memberikan ASI, dia terus menatap bola mata bayinya. Dia merasakan tatapan itu
sama seperti tatapan mata yang dulu pertama kali mampu menggetarkan
perasaannya. Dia dapat menemukan cinta di dalam bola mata tersebut. Cinta yang
selama ini terkubur dalam penantian yang panjang. Cinta yang ia simpan rapat di
balik kerapuhan jiwanya. Cinta yang terjaga dalam untaian doa-doanya. Dan kini
cinta itu hadir kembali. Bahkan cinta itu datang jauh lebih indah di bandingkan
cinta yang ia rasakan pertama kalinya.
Dengan senyum kedamaian ia tatap jalan yang membentang di depannya. Perlahan
dia melangkahkan kakinya menuju jalan tersebut dengan penuh kemenangan. Di
kejauhan telah tercium olehnya wangi melati dan mawar yang bertaburan ke
arahnya. Sebuah jalan menuju kebahagiaan abadi. Jalan yang akan mengantarkannya
untuk memetik buah manis dari kesabaran dan ketabahannya dalam menghadapi
kepahitan hidupnya.
****************
Sepuluh tahun kemudian, seorang lelaki datang ke rumah kecil yang hanya di huni
oleh seorang wanita dan lelaki baya dengan seorang anak kecil berumur kurang
lebih sembilan tahun setengah. Mereka tampak berbincang-bincang di ruang tamu.
Namun nampaknya perbincangan mereka terlihat kaku. Tamu seorang lelaki tadi
lama terdiam membisu, dia seolah larut dalam perasaan yang tak mampu di
deklarasikan. Tiba-tiba bulir bening mengalir deras dari kelopak matanya.
Dialah Irzan, suami shifa yang telah meninggalkan rumah sejak 10 tahun
yang lalu. Kini dia kembali pulang dan berharap meminta maaf kepada shifa atas
semua kesalahan yang telah di perbuatnya dan berharap shifa menerima
kehadirannya kembali. Namun nampaknya penyesalannya itu sudah terlambat. Orang
yang dia harap permintaan maafnya telah pergi meninggalkan semua duka dan
kepahitan yang dulu sempat ia bebankan ke pundaknya. Shifa telah tenang dan
damai di dalam penjagaan-Nya. Shifa telah pergi membawa cintanya yang masih
terhaga kesuciannya. Namun demikian ia masih menitipkan kebahagiaan untuk sang
suami tercinta, Irzan. Dia menitipkan kabahagiaan itu kepada si kecil,
buah cintanya.
Dengan mata masih berkaca-kaca Irzan meraih buah hatinya (Faeza) ke dalam
dekapannya. Dia menciumi wajah faeza dengan penuh kasih.
Perlahan sambil menggendong Faeza dia mendekati wajah shifa yang terbingkai
figura warna biru muda yang menempel di dinding ruang tamu. Dalam hati Irzan
berbisik lirih, “Maafkan aku shifa, aku tak mampu memberikan
kebahagian kepadamu. Aku telah melakukan banyak kesalahan dan dosa dengan
menelantarkan kamu yang ternyata tengah mengandung anak kita, Faeza.
Dulu aku berfikir kamu telah mendholimi cintaku, tapi ternyata aku salah.
Yang mendholimi itu justru aku. aku telah mengabaikan cintamu yang suci
kepadaku. Aku telah menyia-nyiakan kemuliaan dan ketulusan hatimu. Aku telah
egois atas cintamu. Maafkan aku shifa!”.jeritnya dalam hati. Namun sosok Shifa
terdiam. Dia hanya tersenyum manis di balik bingkai figura tersebut.
*********
Di dekat pusara itu, air mata Irzan membuncah kembali. Dia terpekur seorang
diri larut dalam penyesalan yang tak mungkin bermuara. Sebuah Penyesalan
panjang yang entah sampai kapan akan berkubang di dalam hidupnya. Sama seperti
penantian shifa terhadapnya.
Bunga-bunga masih bertaburan….
Melati, mawar, dan kamboja menebarkan
semerbak mewangi
Doa cinta dari seluruh alam bergema
Mengantarkan sang bidadari menuju
surganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar