Assalamu'alaikum. Warohmatullahi. Wabarokatuhu..

Cari halaman Ini

Rabu, 12 Desember 2012

CINTA SANG BIDADARI



Irzan masih duduk terdiam, entah sudah berapa lama ia terpekur sendirian. Hening tak bersuara. Hanya rintik hujan yang terus mengguyur tubuhnya yang rapuh. Sesekali ia terlihat membasuh wajahnya dengan sapu tangan berwarna putih. Dari raut mukanya tersirat jelas kedukaan yang mendalam. Sementara tanah tempat ia berjongkok telah tergenangi air, namun tak mampu membuatnya bergeming untuk menghindarinya.

               Sesaat tangannya menyibakkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar gundukan tanah dan menaburkan wangi melati di atasnya. Dengan gemetar ia membelai batu yang tegak berdiri yang warnanya sudah agak kekuningan karena terkena cipratan lumpur ketika turun hujan. Tiba-tiba saja tubuhnya ambruk lunglai di atas gundukan tanah tadi, seolah ia sedang ingin memeluk sesuatu. Genangan bening akhirnya tumpah dari ujung matanya. Suaranya terdengar parau dan memilukan. Sayup-sayup terdengar suaranya lirih nyaris tak terdengar, memanggil seseorang. Tetapi yang ia panggil tetap tak datang menampakkan diri di hadapannya. Tangisnya makin memecah. Ia seperti anak kecil yang merengek-rengek meminta mainannya. Seiring itu rintik hujanpun berubah menjadi deras. Seakan-akan ia ikut menumpahkan kepedihan yang di rasakan Irzan.

               Namun Irzan tak menyadari deras air hujan yang mengguyur dan bening kristal yang meleleh dari matanya kini, tak akan mampu membalut semua duka dan derita seseorang 10 thn yang lalu. Sebuah pengorbanan yang menguras habis seluruh kebahagiaan dan keindahan cintanya. Ia yang seorang diri mengurung dalam penantian yang sia-sia . Menghabiskan waktu hanya dengan sebuah harapan dan impian yang tak sekalipun datang menghampirinya. Berkubang dalam kesetiaan yang tetap ia pertahankan meskipun selautan duri menusuk-nusuk ulu hatinya
                                                     *********
       
               Shifa, seorang gadis remaja yang berteduh dalam naungan iman dan takwa kepada sang Khalik. Yang berpegang teguh pada kemuliaan seorang wanita solehah yang menjaga pandangannya dari kemunafikan duniawi. Ia yang selalu menjaga bening hatinya dari kenistaan akhlak manusia. Kini telah mengulum cinta pada seorang pria hasil perjodohan orang tuanya. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika kedua orang tua mempertemukan mereka untuk bertaaruf. Sebuah cinta yang selama ini tersembunyi dalam kesucian hatinya.

               Akhirnya cintanya berlabuh pada restu kedua orang tua untuk melaksanakan khitbah atas Ridha dari sang Maha Agung. Kebahagiaan walimah ursy yang terpancar dari seluruh keluarga, handai taulan, kerabat dan anak-anak yatim tergambar jelas di wajahnya yang begitu anggun dalam balutan hijabnya. Sejak saat itu hidupnya hanya untuk mengabdikan dirinya pada Ridha suaminya.

               Namun kebahagiaan itu luruh seketika sesaat setelah walimah ursy usai di gelar. Suaminya membuat sebuah pernyataan yang sangat mengejutkan. Pernyataan tentang ketidak setujuannya atas pernikahan dengannya, karena ia tak pernah mencintai shifa. Sebelum dia di jodohkan oleh kedua orang tua mereka suaminya mengaku telah menambatkan hatinya pada wanita lain. Dan pernikahan ini terpaksa di terimanya karena orang tua. Bukan atas dasar cinta.

             Hati shifa hancur berkeping-keping atas pernyataan suaminya itu. Rasanya ia ingin membatalkan pernikahan ini. Ia merasa telah mendholimi kaumnya. Ia merasa telah salah meletakkan cintanya. Namun mampukah ia mencegahnya sementara ikrar sakral telah terucap dari kedua bibirnya. Sebuah perjanjian yang tidak hanya ia pertanggung jawabkan kepada para saksi dan kedua orang tuanya namun perjanjian yang juga membutuhkan pertanggung jawabannya kepada sang Pencipta. Akhirnya dengan kepedihan yang merejam ia tunduk bersujud mohon petunjuk dan penerang hatinya.

             Atas doa dan muhabbahnya, shifa memutuskan untuk tetap manjalani kehidupan rumah tangganya. Meskipun ia begitu terasing dari kehidupan suaminya. Meskipun kehadirannya di pandang sebelah mata oleh suaminya. Meskipun cinta tak pernah tertabur kepadanya, namun ia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri yang tunduk dan menghormati suami.

               Hingga suatu hari, enam bulan setelah shifa hidup serumah dengan suaminya. Sebuah cobaan terberat telah datang menguji ketabahannya. Suaminya telah pergi dari rumah entah kemana dan untuk berapa lama. Ia hanya mendapati sepucuk surat dari suaminya yang membertitahukan bahwa ia pergi untuk mencari ketenangan hatinya.. Dia tidak mengetahui ketika dia pergi, shifa tengah mengandung buah hatinya selama 1 bulan.

               Sejak kepergian suaminya, shifa hidup dalam penantian. Ia menjalani hari-harinya dengan doa, memohon kepada Yang Maha Mulia supaya suaminya segera kembali. Matanya tak pernah kering oleh buliran bening kepasrahan. Meski penderitaan batin terus merejamnya, namun ia mencoba untuk tetap tabah dan menjalani waktu demi waktu dengan seluruh kesetiaan dan kesabaran. Ia hanya berpegang pada sebuah keyakinan bahwa tiada suatupun cobaan yang melampaui batas kemampuannya. Ia tak ingin pula terlalu larut dalam kepedihan yang berkepanjangan yang hanya akan menyerabutkan imannya. Apalagi dia sadar, dia tengah mengandung buah hatinya yang sangat membutuhkan ketenangan jiwanya.

               Akhirnya dengan kekuatan cinta yang masih terjaga di dalam hatinya, ia berusaha menghadapi kesuraman yang memayunginya saat ini. Hingga tanpa terasa waktupun terus bergulir. Bayi yang di kandungnya pun ingin segera lahir ke dunia. Seolah si kecil ikut merasakan beban penderitaan sang ibu dan ingin menemaninya menjalani kehidupan yang berat ini bersama.

               Si kecilpun akhirnya terlahir ke dunia. Dengan tangisnya yang membahana ia menyapa seluruh dunia. Semua keluarga menyambutnya dengan alunan doa dan rasa syukur atas kehadirannya. Seruan adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri ikut mengiringi jejak kakinya di muka bumi. Tapi sayang sang ayah tak bisa menyaksikan peristiwa yang menakjubkan itu. Ia telah mengorbankan kebahagiaan orang-orang yang mencintainya hanya karena ego yang tak mampu di kendalikannya.

                 Shifa menikmati tangisan buah hatinya dengan perasaan berbunga-bunga. Sesaat dia melupakan semua kegetiran dan kepahitannya hidupnya. Rasa syukur terus terucap dari kedua bibirnya. Doa juga tak henti-hentinya tercurah untuk si kecil. Sambil ia mendekap hangat bayinya, ia memberikan ASI pertamanya. Selama memberikan ASI, dia terus menatap bola mata bayinya. Dia merasakan tatapan itu sama seperti tatapan mata yang dulu pertama kali mampu menggetarkan perasaannya. Dia dapat menemukan cinta di dalam bola mata tersebut. Cinta yang selama ini terkubur dalam penantian yang panjang. Cinta yang ia simpan rapat di balik kerapuhan jiwanya. Cinta yang terjaga dalam untaian doa-doanya. Dan kini cinta itu hadir kembali. Bahkan cinta itu datang jauh lebih indah di bandingkan cinta yang ia rasakan pertama kalinya.

                 Dengan senyum kedamaian ia tatap jalan yang membentang di depannya. Perlahan dia melangkahkan kakinya menuju jalan tersebut dengan penuh kemenangan. Di kejauhan telah tercium olehnya wangi melati dan mawar yang bertaburan ke arahnya. Sebuah jalan menuju kebahagiaan abadi. Jalan yang akan mengantarkannya untuk memetik buah manis dari kesabaran dan ketabahannya dalam menghadapi kepahitan hidupnya.
                                          ****************

                 Sepuluh tahun kemudian, seorang lelaki datang ke rumah kecil yang hanya di huni oleh seorang wanita dan lelaki baya dengan seorang anak kecil berumur kurang lebih sembilan tahun setengah. Mereka tampak berbincang-bincang di ruang tamu. Namun nampaknya perbincangan mereka terlihat kaku. Tamu seorang lelaki tadi lama terdiam membisu, dia seolah larut dalam perasaan yang tak mampu di deklarasikan. Tiba-tiba bulir bening mengalir deras dari kelopak matanya.

                 Dialah Irzan, suami shifa yang telah meninggalkan rumah sejak 10 tahun yang lalu. Kini dia kembali pulang dan berharap meminta maaf kepada shifa atas semua kesalahan yang telah di perbuatnya dan berharap shifa menerima kehadirannya kembali. Namun nampaknya penyesalannya itu sudah terlambat. Orang yang dia harap permintaan maafnya telah pergi meninggalkan semua duka dan kepahitan yang dulu sempat ia bebankan ke pundaknya. Shifa telah tenang dan damai di dalam penjagaan-Nya. Shifa telah pergi membawa cintanya yang masih terhaga kesuciannya. Namun demikian ia masih menitipkan kebahagiaan untuk sang suami tercinta, Irzan. Dia menitipkan kabahagiaan itu kepada si kecil, buah cintanya.

               Dengan mata masih berkaca-kaca Irzan meraih buah hatinya (Faeza) ke dalam dekapannya. Dia menciumi wajah faeza dengan penuh kasih.
               Perlahan sambil menggendong Faeza dia mendekati wajah shifa yang terbingkai figura warna biru muda yang menempel di dinding ruang tamu. Dalam hati Irzan berbisik lirih, “Maafkan aku shifa, aku tak mampu memberikan kebahagian kepadamu. Aku telah melakukan banyak kesalahan dan dosa dengan menelantarkan kamu yang ternyata tengah mengandung anak kita, Faeza. Dulu aku berfikir kamu telah mendholimi cintaku, tapi ternyata aku salah. Yang mendholimi itu justru aku. aku telah mengabaikan cintamu yang suci kepadaku. Aku telah menyia-nyiakan kemuliaan dan ketulusan hatimu. Aku telah egois atas cintamu. Maafkan aku shifa!”.jeritnya dalam hati. Namun sosok Shifa terdiam. Dia hanya tersenyum manis di balik bingkai figura tersebut.
                                                             *********

             Di dekat pusara itu, air mata Irzan membuncah kembali. Dia terpekur seorang diri larut dalam penyesalan yang tak mungkin bermuara. Sebuah Penyesalan panjang yang entah sampai kapan akan berkubang di dalam hidupnya. Sama seperti penantian shifa terhadapnya.
                
                
Bunga-bunga masih bertaburan….
Melati, mawar, dan kamboja menebarkan semerbak mewangi
Doa cinta dari seluruh alam bergema
Mengantarkan sang bidadari menuju surganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar