Pesan dari Biak untuk Nusantara
Siang | 1
Desember 2015 12:40 WIB
Reporter : Muhammad Amran
Belasan perempuan Biak berusia
rata-rata 45 tahun dengan lantang menyuarakan keadilan, perdamaian, dan
kesejahteraan melalui pentas teater berjudul Suara Angganetha. Dengan
kostum khas Papua, mereka menari, menyanyi, serta memainkan busur dan anak
panah, diiringi tetabuhan tifa. "Biarkan keadilan dan perdamaian mengalir
bagaikan sungai di tanah Papua..," seru Angganetha.
Kelompok Orchide Teater Perempuan
Biak mementaskan Suara Angganetha di Gedung Farsios, Biak, Papua. Kisah tentang
Angganetha, perempuan pejuang dari Biak, ini juga difilmkan.
Pentas
teater oleh Orchide Teater Perempuan Biak di Gedung Farsios di Mandau, Biak,
Sabtu (28/11), itu merupakan versi panggung yang menukil adegan dalam fi?lm
dokumenter berjudul sama arahan sutradara Herri Ketaren Purba. Film Suara
Angganetha meraih penghargaan khusus Festival Film Etnik Nusantara 2015 dan
meraih hadiah Rp 10 juta.
Tepuk
tangan riuh ?hadirin menggema ketika Suara Angganetha diumumkan meraih
penghargaan khusus. "Saya berikan piala dan penghargaan ini untuk
Biak," ujar Herri, sutradara asal Batak yang telah lama menggauli budaya
dan masyarakat Biak.
Suara
Angganetha tidak memenuhi persyaratan festival karena bukan film cerita pendek,
melainkan film dokumenter. ?Akan tetapi, misi yang disuarakan sama sehingga
pantas meraih penghargaan khusus. Angganetha, perempuan pejuang semasa penjajahan
Jepang, menginspirasi kaum perempuan Papua sebagai tokoh pemberdaya dan pembawa
pesan perdamaian dari dan bagi tanah Papua.? "Pesannya lugas dan kearifan
lokalnya tampak jelas?," kata anggota dewan juri, Akhlis Suryapati.
Festival
yang digelar Pemerintah Kabupaten Biak Numfor ini menyuarakan pesan perdamaian
dan persatuan dari Biak bagi Nusantara melalui film. Biak memelopori festival
yang merangkul semua pembuat film dari semua daerah di Indonesia. Biak
menghimpun budaya dan kearifan lokal, adat istiadat, serta tradisi lisan dari
semua etnik yang dituangkan melalui media film.
Ketua
Panitia Festival Film Etnik Nusantara 2015 Adolf Baransano berharap, upaya Biak
bisa disambut daerah lain untuk mengangkat budaya lokal yang mampu menyatukan
semangat kebangsaan. ?Dewan juri meliputi Ketua Ikatan Alumni IKJ Abdulah
"Dudung" Yuliarso, Ketua Sekretariat Nasional Kineklub Indonesia
Akhlis Suryapati?, artis teater dan film Clara Shinta, Kepala Dinas Pariwisata
Biak Numfor Yubelius Usior, serta pegiat televisi Biak, Simon Siby.
Para
pemenang justru tidak ada yang berasal dari Papua. Hadiah peringkat pertama Rp
35 juta diberikan kepada Donny Arlen Tambunan, sutradara film Simanggale.
Kisahnya tentang Garogi Saragi yang sangat sedih ditinggal mati anak lelakinya hingga
putrinya melakukan upacara tor-tor sigale-gale. Film menggambarkan betapa
tuntutan mempertahankan tradisi etnik Batak sangat keras.
Hadiah
kedua Rp 25 juta dikantongi Aditya Ahmad dari Makassar lewat filmnya, Sepatu
Baru, yang menyuguhkan tradisi melempar cawat ke genteng untuk menangkal
hujan. Film Njuk Piye (artinya Lantas Bagaimana) dengan sutradara Buyung
Ispramadi (Yogyakarta) meraih hadiah Rp 15 juta sebagai juara ketiga.
Tiga
pemenang merupakan hasil saringan dari 10 unggulan film dari hampir semua pulau
besar di Indonesia. Ke-10 unggulan itu dipilih dari 67 film yang didaftarkan
kepada panitia.
Pesan kearifan lokal
Festival
ini menjadi satu upaya untuk mengukuhkan keragaman budaya demi kemajuan
peradaban bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dudung mengatakan,
etnik merupakan subyek kehidupan lokal dalam ruang budaya masyarakat pada
kelompok sistem sosial atau kebudayaan yang memiliki arti atau kedudukan
tertentu karena keturunan, adat istiadat, agama, bahasa, dan lain-lain.
Aktris Marcella Zalianty (tengah)
bersama Bupati Biak Numfor Thomas Alfa Edison Ondy (kiri) setelah memberikan
trofi kepada pemenang pertama Festival Film Etnik Nusantara 2015 yang diwakili
oleh panitia.
Film etnik
Nusantara adalah film yang bermuatan elemen budaya tradisi masyarakat
Indonesia. Pada konteks kebudayaan, budaya Nusantara merupakan interaksi
dinamis antar-kearifan lokal dalam membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang membentuk karakter Indonesia. "Pendeknya,
kita semua ingin film dengan muatan seperti ini dibuat, lalu dikampanyekan.
Cara bertutur mudah dipahami. Lebih bagus disampaikan dalam bahasa daerah
dengan teks terjemahan," kata Dudung.
Artis
Marcella Zalianty yang hadir di Biak mengapresiasi festival ini. "Saya lihat
festival film yang khusus seperti ini dan nasional baru yang pertama digelar.
Harapannya daerah lain bisa membuat festival yang serupa sehingga film-film
etnik bisa terus diproduksi," katanya.
Salah satu
cara mendukung perfilman nasional adalah mengisinya dengan muatan lokal
sehingga nilai tradisi tetap terjaga. ?Biak tidak punya bioskop, tetapi masih
banyak alternatif cara dan tempat pemutaran film, khususnya film-film arthouse
atau nonkomersial.
Film daerah
Selain
kompetisi film pendek dengan tema etnik, festival juga diisi dengan diskusi dan
pelatihan pembuatan film dengan tema "Kebangkitan Film di Daerah".
Puluhan? peserta baru pertama kali mendapatkan pengetahuan umum tentang film,
akting, naskah, dan penyutradaraan. "Kapan terakhir menonton film Indonesia?"
Akhlis bertanya kepada hadirin saat membuka diskusi. Semuanya terdiam.
Lidya,
Emi, Kristin, Martha, dan Reynaldi senang mendapat pengenalan tentang film
meski ?masih sangat umum. Mereka telah lulus SMA dan ingin menimba banyak
pengetahuan dan pengalaman. "Senang sekali kalau bisa dipinjami kamera
supaya bisa belajar," kata Emi.
Beruntung
Biak memiliki Andrio Ngales dan Jefri Simanjuntak?, pegiat film dari komunitas
Byak Indie. Sejak 2010, Byak Indie membina warga Biak, difokuskan pada akting
dahulu untuk menampung bakat-bakat alam di Papua. "Setelah itu baru pegang
kamera. Untuk menulis naskah dan sutradara masih kesulitan. Kami mau
berkeliling di SMP dan SMA untuk pembinaan," kata Andrio yang sejak 2007
membuat film dokumenter mengenai penyelamatan hutan dan manusia di Papua
bersama 118 lembaga anggota Forum Kerja LSM setanah Papua.
Bagi
Bupati Biak Numfor Thomas Alfa Edison Ondy, festival film di pulau kecil di
Indonesia timur itu digelar untuk memotivasi warga Biak, khususnya generasi
muda, untuk bisa membudayakan film. Sebab, film mampu menggambarkan dan
menyebarkan budaya lokal dengan cara tidak menggurui. Karena itu, Biak belajar
dari daerah lain yang komunitas filmnya sudah berkembang.
Biak belum
memiliki karya film yang layak dimenangkan, tetapi Biak mempunyai kesadaran,
film mampu berbicara. "Lokalitas budaya agar terus berkembang. Perubahan
dunia begitu cepat. Budaya masyarakat adat terkikis sehingga butuh pelestarian
nilai-nilainya. Tradisi masyarakat, lokalitas dengan kearifan lokal bisa terus
dipelihara dan menjadi motor pembangunan. ?Film hanya satu media. Ada banyak
lagi media," ujar Thomas.
Di Biak,
pergelaran adat istiadat menjadi acara rutin untuk menebarkan perdamaian dan
menghargai nilai keragaman dalam bungkus pelaksanaan program Dinas Pariwisata.
?Itulah pesan dari Biak untuk Nusantara. ( ma )